Danton Sihombing | Founding Partner
Manusia kadang membandingkan diri mereka dengan orang lain sebagai cara untuk mendorong pengembangan diri, motivasi diri, dan citra diri yang positif. Akibatnya, manusia terus-menerus mengevaluasi diri mereka sendiri dan orang lain dalam berbagai domain, seperti daya tarik, kekayaan, kecerdasan, dan kesuksesan. Budaya selebritas dan media sosial membuat orang-orang tak ada habisnya membandingkan diri mereka dengan orang lain, kadang melampaui batas kewajaran agar tampil sempurna di sosial media.
Berikut ada satu kisah. Beberapa kali acara sneaker festival pernah digelar di berbagai mall di Jakarta. Biasanya hadir sekitar 50 hingga 60 pelapak yang menjajakan aneka ragam sneakers—sepatu dengan sol lentur berdesain aktual dan bergaya, t-shirt, hoodie—baju hangat dengan penutup kepala yang kehadirannya semakin mencuat dalam budaya hip-hop, dan juga berbagai aksesoris bagi kaum muda. Koleksi brand yang diusung oleh para pelapak ini tergolong dalam fashion streetwear dengan brand-brand tersohor diantaranya seperti Off-White, Comme des Garçons, Nike, Balenciaga, Supreme, Anti Social Social Club, Rip N Dip hingga Bathing Ape.
Ragam seri produk fashion streetwear yang bernaung di bawah brand-brand tersebut terbilang tidak murah. Pendekatan scarcity marketing juga digelontorkan terhadap beberapa seri produk yang diproduksi terbatas dan kemudian secara konsisten dibangun persepsi sebagai produk langka guna meningkatkan volume permintaan. Tentunya hal ini berujung pada harga jual yang fantastis, melampaui rasionalitas dalam menimbang nilai dari sebuah produk. Apa rasional dari sebuah t-shirt yang berharga 13 juta rupiah?
Ajang sneaker festival semacam ini telah menjadi ruang perburuan bagi generasi milenial dan Gen-Z kalangan urban kelas menengah atas. Mereka rela mengantri dan membayar tiket masuk agar dapat menyusur lapak-lapak dalam festival tersebut. Sesungguhnya apa yang mereka cari? Bagi para penggemar sneakers kemampuan untuk memiliki koleksi brand tertentu tidak lagi dalam landasan pertimbangan rasional. Istilah hypebeast akhirnya muncul mengidentifikasi fenomena dari kelompok ini. Perihal ini merujuk kepada orang-orang yang terobsesi dalam mengoleksi fashion streetwear; pakaian, sepatu, dan aksesoris kekinian dan langka dari brand-brand tertentu. Kelompok tersebut berhasrat membangun impresi dan pengakuan sosial dengan cara memamerkan barang-barang koleksinya seraya berharap menjadi bahan perbincangan dan menuai pujian dari kawan-kawannya atau bahkan sekedar mendapat lirikan kagum dari sesama hypebeast yang tak dikenalnya.
Dasar dari perilaku konsumen yang unik ini atau tepatnya di luar tingkat kewajaran disebut dengan Veblen Effect, konsumen membelanjakan uangnya untuk barang-barang yang harganya lebih tinggi sementara ada barang subtitusinya walaupun tidak identik sama namun harganya lebih rendah. Efek ini didasarkan atas keyakinan konsumen bahwa harga yang lebih tinggi memiliki kualitas yang lebih baik atau juga didorong oleh motivasi konsumen untuk meraih pengakuan sosial.
Brand melahirkan asosiasi dan harapan di antara produsen dan konsumen, terlebih di era sekarang brand telah menjadi filosofi pribadi yang dianggap semakin penting dan sering kali menjadi bentuk ungkapan ekspresi diri yang relevan dan hakiki. Perspektif ini mengedepankan peran brand sebagai perangkat yang berkorelasi dengan personalitas brand dan keunggulan produk baik berupa barang atau layanan. Konsepsi dan persepsi konsumen menjadikan dasar keputusan pembelian dan kepercayaan terhadap sebuah brand. Alhasil branding telah menjadi sebuah praktik dalam aktivitas komersial yang mendorong terciptanya hubungan pribadi antara konsumen dan objek yang dikonsumsinya.