Blog

Brand oleh Manusia untuk Manusia

Penulis

Danton Sihombing | Founding Partner

Mengutip Arnold Joseph Toynbee, seorang sejarawan modern, bahwasannya peradaban adalah sebuah gerakan dan bukan sebuah kondisi, sebuah pelayaran dan bukan pelabuhan. Revolusi industri adalah sebuah pelayaran, perjalanan yang kerap memperdebatkan kapasitas manusia yang tersubstitusi oleh keunggulan mesin. Revolusi industri yang pertama bergerak pada abad 18 telah merevolusi mekanisasi industri lewat teknologi mesin uap, revolusi industri kedua mengambil peran penciptaan produksi masal lewat tenaga listrik, revolusi industri ketiga peran informasi teknologi dalam otomatisasi sektor produksi. Kini peradaban memasuki ambang revolusi industri keempat yang berevolusi secara eksponensial, tidak lagi linear, bergerak dalam sebuah sistem cyber dengan mesin dan perangkat yang mulai mengimbangi kemampuan kognitif manusia. Era ini mendorong pilihan manusia untuk berinvestasi dalam kecerdasan emosional, wilayah-wilayah yang masih jauh tersentuh oleh artificial intelligence.

posthumanism

Pemikiran pascahumanisme (posthumanism) mendefinisikan sebuah kondisi dimana manusia dan teknologi cerdas menjadi semakin terjalin. Landasan pemikiran pascahumanis mengacu pada pemahaman sibernetika (cybernetic), era dimana manusia harus beradaptasi dengan cara mengenali keberadaannya sebagai sebuah sistem yang terintegrasi dengan sistem lain. Sistem-sistem yang dianggap relevan diantaranya adalah sistem mekanis, fisik, biologis, kognitif, dan sosial yang memiliki potensi melahirkan rantai sebab akibat, seperti contoh dampak kerusakan lingkungan terhadap fisik manusia, pengendalian populasi hingga program autopilot pendingin ruangan. 

Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi digital menimbulkan hukum pasar supply-demand menjadi lebih terarah. Perilaku konsumen turut bertransformasi dalam gelombang inovasi digital dan dinamika media sosial yang merevolusi konsumen dalam mengakses informasi serta tindakan-tindakannya secara online dimanapun dan kapanpun. Menjamurnya sarana dan prasarana yang terkait dengan perdagangan juga memiliki andil dalam melahirkan budaya hedonisme dan pola hidup konsumtif yang umumnya tumbuh dalam dinamika kehidupan masyarakat kota besar. 

Seiring dengan peningkatan akses konsumen terhadap informasi dan kesediaan untuk berbagi pengalaman mereka kepada publik secara terbuka, telah muncul harapan bahwa brand harus jujur dan transparan dalam operasi mereka. Hal ini akan memperkuat posisi tawar konsumen semakin menguat terhadap hegemoni pasar. Pada saat yang sama, brand yang tidak memenuhi harapan semakin sering terpapar melalui mekanisme viral yang menyebabkan hancurnya reputasi. 

Perkembangan teknologi yang canggih mampu mengubah perilaku konsumen dalam upaya membandingkan keunggulan keragaman brand dalam menentukan pilihan. Media sosial telah menciptakan transparansi bagi konsumen yang pada akhirnya menuntut keberadaan brand authenticity—nilai-nilai kesejatian, kejujuran, dan kebenaran yang diusung oleh sebuah brand secara konsisten. Ketika konsumen dihadapkan pada beragam pilihan dan janji-janji, manakala alternatif-alternatif tersebut terus berkembang, maka cepat atau lambat nilai-nilai kesejatian, kejujuran, dan kebenaran dari sebuah brand akan terungkap ketika konsumen mulai menyerap pengalaman dari brand tersebut. Konsumen perlu dinyamankan dalam gerak hidupnya yang dinamis, ketika mereka membutuhkan keputusan yang cepat dan tepat. Mereka menjelajah bentangan tawaran-tawaran yang membludak, hidup dalam heterogensi kanal informasi, memanfaatkan algoritma yang mengorganisir informasi seperti teks, foto, dan video. Sungguh belantara digital yang terlalu luas dan kompleks ini menghadirkan tantangan tersendiri bagi brand untuk mencuri perhatian konsumen. 

Filter
Type of Work
Industry